
SEMARANG, detakjateng-Goa Kreo adalah salah satu obyek wisata (obwis) yang menjadi andalan destinasi bagi Kota Semarang. Bagi yang sedang berlibur di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini, tak afdol rasanya jika belum berkunjung ke Obwis yang berada di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati tersebut.
Begitu memasuki lokawisata ini, kita akan disuguhi dengan pemandangan Waduk Jatibarang yang indah. Dari atas, kita juga bisa melihat jembatan Goa Kreo yang ikonik dan menjadi pilihan spot foto bagi pengunjung.
Wisatawan juga bisa menyaksikan atraksi ‘panjat pinang’ monyet. Dalam atraksi tersebut, pengelola Obwis menyediakan tiang dari besi bentuknya mirip tiang panjat pinang, bagian puncak yang berbentuk bundar diisi dengan jagung, kacang tanah dan minuman dalam botol plastik kecil.
Kemudian monyet-monyet yang berjenis Monyet Ekor Panjang (MEP) akan naik dengan atraksi jumpalitan mengambil makanan dan minuman tersebut. Aksi-aksi monyet yang lepas liar di sekitar Obwis Goa Kreo ini menjadi magnet wisatawan.
Selain menyajikan pemandangan indah dan atraksi panjat tiang monyet, ada pula legenda yang amat terkenal di Goa Kreo itu. Menurut juru kunci Goa Kreo, Danu Kasno, legenda Goa Kreo berawal dari perjalanan Sunan Kalijaga dalam membawa kayu jati ke Kasultanan Demak.
ASAL NAMA KREO
“Legenda Goa Kreo ini berawal dari perjalanan Sunan Kalijaga yang sedang mencari dan membawa kayu jati sebagai soko guru Masjid Agung Demak. Jaman dulu, masing-masing sunan, yaitu Sunan Bonang, Sunan Gunungjati, Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga mencari kayu jati untuk soko guru (empat pilar penyangga joglo),” tutur Danu Kasno di hadapan para wartawan anggota PWI Jateng, Kamis sore (02/03/2023).
Kehadiran puluhan wartawan dari berbagai media se-Jawa Tengah ini adalah dalam rangka City Tour Hari Pers Nasional 2023 yang diadakan di Kota Semarang. “Sunan Kalijaga mencari kayu jati di sebuah bukit dyang sekarang ini kita kenal dengan Gombel. Dari sinilah kemudian muncul daerah bernama Jatingaleh. Ngaleh atau Ngalih dalam Bahasa Indonesia berarti pindah tempat. Saat itu, Sunan Kalijaga akan menebang pohon jati tapi tiba-tiba pohon tersebut berpindah tempat. Kemudian Beliau menamakannya Jatingaleh artinya pohon jati yang berpindah tempat,” papar Kusno yang merupakan juru kunci generasi ketiga.
Karena pohon jati berpindah tempat, maka Sunan Kalijaga mencarinya hingga ketemulah di sebuah bukit kecil arah barat daya dari hutan tempat kayu jati berasal. Kayu jati tersebut berada di tengah-tengah pepohonan, kemudian diberikanlah nama pada daerah itu menjadi Jati Kalangan (pohon jati yang terhalang).
“Usai berhasil menebang kayu jati, kemudian Sunan Kalijaga dan pengikutnya membawanya melalui aliran sungai Di tengah perjalanan, Beliau mendengar suara musik tradisional gamelan. Setelah dicari sumbernya, ternyata sedang ada pementasan tari atau istilah Jawanya mBarang (pentas/ngamen). Sunan Kalijaga pun sempat ikut menari dan melakukan syiar Islam di sana serta memberikan nama Jatibarang,” cerita Kasno.
Pria yang selalu membawa tongkat kayu ini melanjutkan, usai mbarang tari, Sunan Kalijaga kemudian melanjutkan perjalanan, namun kayu jatinya nyangkut di sebuah kedung curug (kubangan air terjun) yang letaknya di belakang sebuah gua. Karena belum berhasil mengambil kayu jati itu, Sunan Kalijaga kemudian istirahat di gua untuk semedi.
Dalam semedinya, Beliau mendapat petunjuk atau bisikan. Pertama, sebagai orang Jawa jika punya hajat harus melakukan ritual selamatan. Bisikan kedua adalah, kayu jati harus dipotong mebjadi dua.
“Setelah mendapat bisikan kemudian Sunan Kalijaga naik dan menemukan sebuah batu. Di sanalah Beliau mengadakan ritual sederhana hingga bertemu dengan emoat ekor kera berwarna merah, putih, kuning dan hitam. Mereka ingin membantu Sunan membawa pohon jati hingga ke Demaj, namun tidak diijinkan. Sunan Kalijaga berpesan pada kera-kera tersebut untuk mangreho (nenjaga, melestarikan) gua dan sungai. Lama kelamaan kata reho kreo. Artinya gua dan sungai yang dijaga okeh mera,” ujar Kasno.
PEREMPUAN HAID DILARANG MASUK GUA KREO
Hingga saat ini, menurut Kasno, ada sekitar 500 monyet spesies MEP atau Bahasa Latinnya Macaca Fascicularis. Mereka menghuni hutan-hutan yang ada di sekitar Gua Kreo. Bahkan tanpa takut berbaur dan berdekatan dengan pengunjung.
Seperti lazimnya mengunjungi suatu tempat, pasti ada pantangan atau hal-hal yang tabu bagi pengunjung. Berdasarkan keterangan dari juru kunci, ada tiga hal yang perlu diperhatikan pengunjung. Jika dilanggar maka biasanya wisatawan akan mengalami halangan, contohnya saat naik (bukit) tidak kuat.
“Pantangan di Gua Kreo ini yang pertama, bagi perempuan yang sedang haid dilarang masuk. Jika dilanggar maka biasanya akan terkena halangan, naik pun tidak kuat, bisa pingsan atau yang disebut kesurupan. Pantangan kedua, tidak boleh mengganggu monyet, akibatnya juga sama. Yang ketiga ini hanya imbauan saja, kalau bawa makanan jangan ditenteng pakai tas kresek,” kata Kasno mengakhiri ceritanya.
Salah satu wartawan yang ikut berwisata, Mbak Ning mengaku senangnikut City Tour di Gua Kreo ini. “Atraksi monyetnya sangat menghibur, lucu-lucu. Sayangnya cuaca tidak mendukung karena hujan terus jadi agak susah mengambil video atau foto,” ujar Mbak Ning.
SEGO KETHEK
Yang tak kalah menarik dan patut dicoba adalah sajian kuliner khas Goa Kreo. Ikon kuliner di Kelurahan Kandri adalah sego kethek. Kethek dalam Bahasa Indonesia artinya adalah monyet., jadi sego kethek secara harafiah artinya nasi monyet.
Menurut guide dari Pokdarwis (Kelompok sadar wisata) Desa Wisata Kandri yang memandu, Suhono sego kethek adalah nasi dibungkus daun jati dilengkapi dengan gudangan (sayur urap), lauk, peyek teri dan kering tempe.
“Kalau di desa kami ada kebiasaan menyajikan makanan dengan cara berantai (dari tangan ke tangan). Itu kami namakan ‘kethekan’. Salah satu kuliner andalan kami juva namanya sego kethek,” ujar Suhono.
Selain itu, ada pula sajian dawet rempah sayur yang cocok diminum dalam segala cuaca. Meskipun namanya dawet, namun cendolnya tidak terbuat dari tepung beras atau kanji lazimnya dawet di daerah lain. Cendol di Kelurahan Kandri ini terbuat dari sawi hijau yang rasanya pun sangat lezat dan ikonik.
Dipadu dengan santan dicampur rempah-rempah, ditambah buah nangka, membyat minuman ini memiliki khasiat kesehatan seperti jamu..Bagi Anda yang sedang berada di Kota Semarang, silakan mencobanya. (S. Utamining)